Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Jawaban yang Tepat saat ditanya “KAPAN NIKAH?”


Di Penghujung bulan Mei 2020, tepat pukul 16.00 saya ikutan Ngobrol bareng Omar Esteghlal (Aktor dan mahasiswa Filsafat Psikoligi ST. Olaf College) dan Bu Nur Rofiah, Bil. Uzm (Founder Kajian Gender Islam dan Dosen Ilmu Tafsir PTIQ Jakarta) tentang “KAPAN NIKAH?” di Live Instagram Omara.esteghlal.

Jadi teman-teman, kali ini saya akan berbagi tentang obrolan di Live Instagram mengenai “KAPAN NIKAH?”

Jadi kapan sebaiknya nikah? Beneran nih secepatnya walau belum siap? Mau habiskan masa muda dengan tanggungjawab pernikahan atau puas-puasin dulu mengukir pretasi kayak Piyan? Eh, Omara maksudnya. (Omara adalah pemeran Piyan, sahabat Dilan di Film Dilan)

Seringkali pada saat lebaran tiba, kita diberondong  pertanyaan yang jawabannya sangat susah, melebihi soal matematika. Wkwkwk,  “Kapan Nikah?”, “Udah lulus, udah kerja ngapain ngga nikah-nikah”?,  “Lihat tu temen-temenmu udah pada punya anak, kamu kapan mau nikah?”, “Udah saatnya kamu menikah, jadi wanita ituu, jangan pilih pilih, yang penting dia (LK) tanggungjawab, kalau pilih pilih.. nanti jadi perawan/Joko tua lhoo”

Ngeri juga yaa pertanyaannya, Kalau temen-temen diberondong pertanyaan kayak gitu, temen-temen jawabnya gimana? Pasti Cuma senyum senyum sendiri kan? Sama bilang kalau “belum ada calonnya”. Wah, ati ati nih kalau bilang belum ada calonnya, ntar malah dicariin calon lagi sama yang nanya. Wakakak.

Sebelum menikah, kita harus tahu dulu tujuan menikah itu untuk apa? Apa untuk memenuhi kebutuhan seksual saja, ataukah untuk ikut-ikutan teman biar engga dikira jomblo, atau untuk balas dendam karena ditinggal Nikah sama mantan? Utututu.. ambyaar jadinya.

Kenapa sih kita harus tahu tujuan nikah? Ya kita harus tahu mau dibawa kemana bahtera rumah tangga ini. Ibarat bepergian ya, kalau ditanya “Kapan ke Jepara?” “Untuk apa ke Jepara?” kalau sudah tahu tujuannya semua akan lebih jelas. Contoh aku mau ke Jepara nunggu waktu liburan, karena aku mau mengenang sejarah RA Kartini ke museum kartini. Semisal nih ya, kamu ngga tau tujuannya.. pastinya ya muter-muter terus di jalan. Hahaha

Jadi kita menikah ketika sudah menemukan calon pasangan yang siap untuk menjadi team, menjadi jiwa yang satu (nafsiwwahidah). Maka pernikahan mesti dikelola bersama-sama antara pasangan suami istri untuk menuju kebaikan. Pernikahan dalam Islam tidak hanya antara dua tubuh, tetapi pernikahan itu juga harus menyatukan dua jiwa. Kalau ta’aruf, jangan hanya ta’aruf fisik, tapi ta’aruf intelektual dan spiritualitas juga diperlukan. Ta’aruf intelektual dan spiritualitas itu gimana sih?

Proses pengenalan kepada seseorang dengan melibatkan suatu permasalahan yang biasanya terjadi dalam rumah tangga, atau lebih tepatnya menyatukan cara pandang atau pola pikir dalam hidup. Jadi ya calon Pasangan suami istri bisa saling berdiskusi tentang kehidupan saat menikah. Misalnya tentang mengatur keuangan, tentang ibadah, atau tentang hal lain. Contohnyaa “Kamu setuju engga kalau setelah menikah, aku kuliah lagi?” , “Nanti kalau setelah menikah, aku boleh tetap bekerja nggak?”. Ya seputar obrolan yang terlihat sepele tapi bisa jadi berakibat fatal apabila tidak satu tujuan dalam pola pikir.

Oleh karena itu, calon suami istri yang ideal itu SEKUFU atau sepadan. Perempuan dinikahi karena empat hal. Pertama, hartanya, kedua, Parasnya, ketiga Nasabnya dan keempat karena Agamanya. Pilihlah Agama, karena inti dari Agama adalah Taqwa. Taqwa yang dimaksud disini ialah hubungan baik suami istri dengan Tuhan dan dengan makhluk Tuhan, atau biasa disebut dengan Hablumminallah dan Hablumminannas.

Dalam perkawinan (Dulu), Perempuan hanya dipandang sebagai objek seksul. Jadi melaksanakan pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan seks semata. Saat ini, Islam mengubah tujuan pernikahan untuk ketentraman jiwa (Sakinah), Mawaddah (Bahagia), dan Rahmah (Cinta). Mawaddah dalam pernikahan itu penting. Tapi Mawaddah saja tidak cukup, harus disertai dengan Cinta (Rahmah), cinta yang didasarkan pada yang mencintai. Seperti lilin, untuk  menerangi sekelilingnya, dirinya sendiri terbakar. Maka dari itu, kalau hanya Mawaddah dan Rahmah saja belum cukup, harus ada ketentraman jiwa. Bahagia tanpa menyakiti salah satu dari keduanya, jadi saling bahagia.

Mari memproses diri untuk menjadi kuat, tapi ingat, gunakanlah kekuatan itu untuk kebaikan.

Dalam sebuah pernikahan, suami istri punya mekanisme masing-masing. Dua-dua nya (suami istri) sama-sama menjadi subjek.

Tadi ada salah satu pertanyaan, Bagaimana jika seorang suami men talak istrinya sepihak? Dalam hukum Islam kan talak hanya bisa dilakukan oleh suami. Berati dalam pernikahan tetap menjadikan istri sebagai objek dong. Jawabannya, saat ini, dalam UU Perkawinan, suami istri sama-sama punya wewenang untuk mengajukan talak satu sama lain. Tetapi, harus melalui prosedur pengadilan Agama. Jadi, apabila suami men talak istri tanpa melalui prosedur dalam pengadilan Agama, maka Talak itu belum sah.

Ada lima pilar dalam pernikahan.

  1. Suami istri sama-sama meyakini bahwa keduanya adalah berpasangan. Seperti sayap, setara sebagai mitra atau team untuk mewujudkan kemaslahatan. Jadi yaa ibarat sayap kanan kiri, sayap kanan jangan menyakiti sayap kiri, nanti akan susah untuk terbang, kesulitan dalam mencapai kemaslahatan.
  2.  Suami istri meyakini bahwa Perkawinan merupakan JANJI KOKOH antara suami istri dengan Allah. Jadi, suami istri harus selalu berpikir dalam tindakannya agar dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
  3.  Suami istri melakukan pasangannya dengan bermartabat dalam akal budi. Jadi sebelum melakukan suatu perbuatan, hendaknya bertanya dulu “Apakah tindakan ini diperbolehkan oleh Allah?” dalam konteks halal atau haram, kalaupun tindakan itu halal, “Baik enggak buat saya?” Karena yang halal belum tentu baik buat diri sendiri kaan, lalu “Pantas atau tidak buat saya?” sebab yang baik belum tentu pantas. Contohnya mengenakan sarung kan halal, baik, tapi pantas nggak kalau dikenakan pada saat acara formal? Misal menjadi moderator dalam acara Seminar Ekonomi. Wkwkwk-
  4.  Musyawarah apabila menemui masalah dalam perkawinan.
  5. Saling Ridlo. Karena Ridlo Allah pada suami tergantung pada istri, begitupun sebaliknya.

 

Dalam sebuah pernikahan, kesiapan mental jauh lebih utama daripada Finansial. Karena pasangan yang mentalnya sudah siap untuk menikah akan lebih baik dalam menyesuaikan pola hidup dengan rejeki yang dipunyai. Maka dari itu, pada saat masa pengenalan, lebih baik dalam menyamakan visi dalam pernikahan sehingga bisa menjadi team untuk mencapai kemaslahatan dengan kompak.

Perkawinan itu yang mampu menumbuhkan potensi kedua belah pihak, bukan mematikan. Maksudnya menumbuhkan potensi disini adalah keduanya harus saling mendukung untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala bidang. Kemudian yang dimaksud mematikan disini adalah tidak menerima keburukan salah satu pasangan, sehingga salah satunya menjadi tersudutkan. Jadii, dalam sebuah pernikahan hendaknya keduanya saling berlapang dada menerima keburukan satu sama lain.

Pada setiap tahapan kehidupan, termasuk perkawinan, harus bisa menjadi lebih baik. Keduanya harus siap untuk saling mendukung dalam suka maupun duka. Perempuan akan mengalami 5 fase dalam kehidupannya. Menstruasi, Kehamilan, Melahirkan, Nifas, dan Menyusui. Periode waktunya pun cukup lama, mingguan hingga tahunan. Kadang juga perempuan merasakan kesakitan atas apa yang dialami dalam 5 fase tersebut. Oleh karena itu, Islam menganjurkan suami untuk dapat kooperatif dengan istri. Tidak melemahkan dan menjatuhkan istri, dan memberikan rasa empati yang luas kepada istrinya.

Kesimpulannya, dalam sebuah pernikahan.. harus sama-sama saling bahagia dan membahagiakan, pesan untuk calon pasangan suami istri hendaknya selalu melatih diri untuk memperlakukan orang lain dengan baik dan selalu berproses untuk memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Jika ada pertanyaan, bisa langsung ditanyakan di komentar bawah atau langsung menghubungi saya melalui email ya. Terimakasih.

 

 

 

Posting Komentar untuk "Bagaimana Jawaban yang Tepat saat ditanya “KAPAN NIKAH?”"